Jakarta, Realistis.co -- Di sebuah ruangan penuh cahaya lampu, puluhan akuarium berjajar rapi, berkilau seperti kotak-kotak kaca yang menyimpan serpihan surga. Di dalamnya, arwana berenang anggun, tubuhnya berkilau bagai serpihan logam cair yang bergerak hidup. Orang-orang menyimak dengan takzim. Senjo Iyang berdiri di sana, kali ini bukan sebagai penonton, bukan pula sebagai pedagang, melainkan sebagai juri kontes arwana. Keputusannya dinanti, penilaiannya dihormati. Di panggung itu, seolah segala kegagalan, keringat, dan air mata masa lalu luruh dalam satu momen pengakuan.
Namun perjalanan menuju titik ini tidak pernah mudah. Untuk sampai di balik cahaya panggung, Senjo lebih dulu melewati lorong panjang yang penuh rintangan, kesepian, dan luka.
Pria kelahiran Desa Sungai Petai, Kabupaten Kampar ini lebih dikenal dengan nama Senjo Iyang di dunia ikan hias. Ia dididik dan dibesarkan dalam keluarga ekonomi menengah. Ayahnya bekerja di sebuah pabrik karet, seorang buruh yang mengandalkan tenaga untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Ibunya seorang ibu rumah tangga, menjaga ritme sederhana rumah mereka. Tidak ada cerita tentang kemewahan. Namun dari ruang sederhana itu, ia belajar arti tekun, sabar, dan rela berusaha. Kesederhanaan itu justru menjadi fondasi, ia tidak pernah menganggap hidup akan mudah, sehingga sejak awal, ia telah menyiapkan diri untuk menghadapi berbagai kesulitan.
Masa sekolah baginya adalah masa menyenangkan. Hingga SMP, ia selalu berprestasi: nilai bagus, aktif berorganisasi, berani bicara dan mengambil tanggung jawab. Masa itu menanamkan kepercayaan diri bahwa dirinya mampu bersaing, tidak kalah dengan anak kota.
Jika ditarik lagi ke belakang, kenangan masa kecil yang paling membekas bagi Senjo bukanlah mainan mahal atau liburan jauh. Yang ia simpan hingga kini adalah ritual sederhana bersama sang ayah: memancing. Di tepian sungai Kampar Kiri, dengan joran bambu seadanya, keduanya duduk berdampingan. Hening, sabar, penuh kesahajaan. Aktivitas itu, yang bagi sebagian orang hanya hobi, bagi Senjo menjadi fondasi. Dari situ ia belajar tentang kesabaran, ketekunan, dan kebersamaan: nilai-nilai yang kelak membimbingnya menghadapi kerasnya hidup.
Di kampung, ia menyadari satu hal: mencari pekerjaan bukan hal yang terlalu sulit. Tapi membuka usaha adalah tantangan sesungguhnya. Usia yang masih muda membuat orang-orang meragukannya.
“Mereka menganggap saya terlalu muda, baru lulus sekolah. Jadi sulit dipercaya,” kenangnya. Kalimat itu, yang dulu terdengar menyakitkan, kini justru seperti pemicu semangat yang tak pernah padam.
Tahun 2012 menjadi titik berani. Senjo Iyang memutuskan merantau ke Jakarta. Alasannya sederhana namun mendasar: ia ingin mandiri, ia punya mimpi besar. Tetapi keputusan itu tidak mulus. Pada keberangkatan pertama, orang tuanya menolak. Ia pulang dengan perasaan campur aduk. Namun tekadnya tidak padam. Pada keberangkatan kedua, restu diberikan. Dengan hati mantap, ia berangkat.
Bekalnya sangat terbatas: hanya beberapa potong pakaian dan uang ratusan ribu rupiah. Tak sebanding dengan besarnya mimpi yang ia bawa, tetapi cukup untuk menyalakan langkah pertama. Setibanya di ibu kota, ia menumpang di kost seorang teman yang sedang kuliah. Dari sana, ia berburu pekerjaan. Jobstreet, Kaskus, iklan-iklan online, semua ia telusuri, berharap satu pintu terbuka.
Hidup di Jakarta berarti menguji ketahanan. Senjo pernah menjadi pelayan restoran, buruh konstruksi, staf event organizer, hingga pekerja di bidang ekspedisi. Tidak ada kenyamanan. Makan seadanya, tidur di lantai, kadang ditipu orang. Kesepian menjadi teman akrab.
Di tengah kerasnya perantauan, rindu pun datang. Rindu masakan ibu, rindu memancing bersama ayah. Tapi justru kerinduan itu membakar semangat. Semua pengorbanan ini tidak boleh sia-sia, batinnya. Ia berjanji pada dirinya sendiri, apa pun yang terjadi, ia akan bertahan.
Titik balik datang sekitar 2013. Dari kecil Senjo memang menyukai ikan. Maka ketika hidup mulai sedikit stabil, ia membeli seekor arwana. Bukan ikan biasa, melainkan ikan purba yang dilindungi, salah satu yang termahal di dunia. Memeliharanya menumbuhkan kebanggaan sekaligus rasa prestise.
Awalnya hanya hobi. Namun dari hobi, datanglah peluang. Kala itu tren BlackBerry Messenger sedang naik. Senjo mengunggah status tentang arwana di BBM. Tak disangka, seorang teman kantor bertanya apakah ia bisa menjualnya. Dari situlah bisnis kecilnya lahir.
Modalnya berasal dari gaji bulanan dan pinjaman bank, sesuatu yang bisa ia akses karena statusnya sebagai karyawan tetap di sebuah perusahaan di Jakarta. Ia belajar merawat arwana lewat artikel-artikel di media, lalu praktik langsung. Kesalahan dan keberhasilan menjadi guru terbaik. Perlahan, keahliannya terus terasah.
Namun jalan bisnis tidak selalu mulus. Kegagalan terbesarnya datang saat pertama kali mencoba ekspor. Semua ikan arwana yang ia kirim mati. Ia rugi ratusan juta rupiah. Pukulan itu sangat keras. Ia frustrasi, stres, bahkan sempat depresi. Tapi ada satu hal yang tidak pernah ia lakukan: menyerah.
“Kegagalan itu pembelajaran dan pengalaman,” katanya. Kalimat sederhana, namun lahir dari luka yang nyata. Dari kegagalan itu, ia justru memperoleh ilmu yang tak ternilai. Ia belajar bahwa dalam bisnis, yang terpenting adalah berani bangkit.
Senjo Iyang kemudian mulai memanfaatkan internet secara serius. Ia membuat website, aktif di media sosial, memperluas jaringan. Strategi itu berhasil. Pasar arwananya menembus hingga Tiongkok dan Jepang.
Reputasinya pun berkembang. Pada 2018–2019, komunitas pecinta arwana mulai mengenalnya sebagai “dokter arwana” berkat kemampuannya merawat ikan bergengsi itu. Tiga tahun kemudian, 2021, ia dipercaya menjadi juri kontes arwana. Kepercayaan itu bukan hanya sekadar pengakuan, tapi tanda bahwa kerja keras dan konsistensinya telah diakui dunia.
Di balik semua itu, Senjo berpegang pada dua prinsip: komitmen dan konsistensi. Ia percaya, kegagalan bukan akhir, melainkan bagian dari proses belajar. Ia sendiri tidak menamatkan kuliah, tapi ia pernah berhasil menembus jabatan terakhir sebagai IT Manager di sebuah perusahaan asing, sebelum mengundurkan diri.
Pesannya untuk anak muda yang ingin merintis usaha, sederhana tapi kuat: jangan takut. Menurutnya, banyak anak muda saat ini terlalu penakut, lebih suka menjadi pekerja di perusahaan daripada membuka usaha sendiri. Padahal, jika punya komitmen dan konsistensi, peluang selalu ada.
Baginya, bisnis sebelum umur 40 adalah perjudian. “Kamu harus siap bertaruh dengan semua hal yang kamu miliki. Bahkan tekanan dari orang terdekat. Dan kalau gagal, ingat: kamu pasti sendirian. Tidak ada yang membantu, kecuali dirimu sendiri dan Tuhan. Jangan pernah berharap pada manusia.”
Kini, mimpi terbesar Senjo Iyang bukan sekadar sukses pribadi. Ia ingin memberi manfaat bagi banyak orang, terutama kampung halamannya, Desa Sungai Petai. Ia bermimpi membuka lapangan kerja, mendorong UMKM, dan menghadirkan kesempatan yang nyata.
Yang ingin ia wariskan bukan hanya bisnis arwana, tetapi juga cara berpikir: bahwa konsistensi lebih penting dari gelar, bahwa keberanian lebih kuat dari rasa takut, bahwa kesabaran sederhana yang ia pelajari dari ayahnya di tepian sungai Kampar Kiri bisa menjelma menjadi modal hidup paling berharga.
Kisah Senjo Iyang adalah kisah tentang keberanian menolak menyerah. Ia tidak lahir dari keluarga konglomerat, tidak punya akses modal besar, tidak menamatkan kuliah. Tapi ia membuktikan bahwa mimpi bisa tumbuh dari tanah yang keras, asalkan dipelihara dengan kesabaran, komitmen, dan keberanian untuk gagal.
Dari ritual kecil memancing bersama ayah, dari uang ratusan ribu di saku saat merantau, dari arwana yang mati dalam pengiriman dan rugi ratusan juta rupiah, hingga kini berdiri sebagai pengusaha sukses, eksportir, juri kontes dan dokter arwana, adalah perjalanan yang mengajarkan bahwa hidup bukan tentang seberapa cepat kita sampai, melainkan seberapa gigih kita bertahan.
Senjo Iyang pernah berkata, “Saya tidak pernah puas dengan pencapaian saat ini. Saya selalu ingin belajar, bahkan setelah gagal.” Barangkali, di situlah rahasia sesungguhnya: ia bukan hanya pengusaha arwana, bukan hanya dokter ikan, bukan hanya juri. Ia adalah seseorang yang menjadikan hidup sebagai kolam luas, di mana setiap kesalahan, setiap luka, setiap keberhasilan hanyalah riak yang menuntun pada arus yang lebih besar.
Cerita Senjo Iyang bukan hanya soal ikan. Ini adalah kisah tentang manusia yang menghadapi keterbatasan. Tentang bagaimana kerja keras bisa menggantikan modal yang kurang, bagaimana kegigihan bisa menutup celah relasi yang minim.
Lebih dari itu, kisah ini mengandung pelajaran universal: setiap orang punya “arwana”-nya masing-masing. Bagi Senjo Iyang, arwana adalah kendaraan menuju dunia yang lebih luas. Bagi orang lain, mungkin bidang lain: seni, bisnis, pendidikan, atau sosial adalah kendaraannya masing-masing. Dan, pertanyaannya adalah, beranikah kita menemukan dan merawat “arwana” kita sendiri?
Seperti arwana yang berenang anggun di balik kaca akuarium, hidup Senjo Iyang berkilau bukan karena lahir dalam kemewahan, melainkan karena ia tak berhenti berenang meski air sering keruh dan ruang kadang menyempit. Dari Sungai Petai yang sederhana, ia kini berenang di pasar global, membuktikan bahwa mimpi, ketika dirawat dengan kesabaran dan konsistensi, bisa menjelma kenyataan. (ben)
#Senjo Iyang #Arowana #Arwana