Satu Dolar Untuk Negeri Kaya Minyak: Sebuah Penghinaan terhadap Marwah Melayu
Oleh: Asri Auzar
Apa yang lebih menyakitkan dari ketidakadilan ketika ketidakadilan itu datang dari rumah sendiri, dari republik yang selama puluhan tahun hidupnya dibiayai oleh tanah kita?
Riau telah memberi terlalu banyak, tapi yang kembali hanya selembar dolar per bulan. Satu dolar. Itulah harga yang ditetapkan negara untuk keringat, lumpur, dan air mata masyarakat Riau yang sejak zaman minyak pertama kali disedot dari bumi ini, tidak pernah benar-benar ikut menikmati hasilnya.
Pernyataan Gubernur Riau, Abdul Wahid, dalam pertemuan dengan Pertamina Hulu Rokan (PHR) dan SKK Migas merupakan jeritan panjang dari sejarah yang tak kunjung ditegakkan. Bayangkan, dari blok migas yang menghasilkan miliaran dolar setiap tahun, provinsi penghasil hanya menerima satu dolar Amerika per bulan. Itu angka memalukan.
Apakah republik ini begitu miskin hingga hanya bisa memberi receh kepada bumi yang selama puluhan tahun menyuplai energinya? Tidak. Ini bukan tentang kemampuan fiskal negara, ini tentang kemauan politik. Tentang paradigma yang sejak lama menempatkan daerah penghasil sebagai buruh yang harus berterima kasih karena diizinkan bekerja di ladang miliknya sendiri.
Abdul Wahid tidak sedang menuntut belas kasihan. Ia sedang menuntut keadilan konstitusional. Participating Interest (PI) seharusnya menjadi jembatan bagi daerah untuk ikut menikmati hasil sumber dayanya, bukan dijadikan simbol penghibur. Tapi yang terjadi hari ini, PI hanya menjadi fatamorgana keadilan: terlihat berkilau dari jauh, namun ketika didekati, isinya nihil. Satu dolar sebulan, di tengah produksi ribuan barel minyak per hari, adalah penghinaan terhadap akal sehat dan marwah daerah.
Sudah saatnya pemerintah pusat berhenti berpura-pura tidak tahu. Bahwa setiap kali sebuah provinsi penghasil seperti Riau menuntut haknya, selalu muncul alasan birokrasi, regulasi, atau “kewenangan pusat”. Tapi di balik semua itu tersembunyi satu hal: ketakutan untuk melepaskan kontrol. Seolah keadilan fiskal adalah ancaman bagi kedaulatan nasional. Padahal justru ketidakadilan inilah yang perlahan-lahan menggerogoti rasa memiliki rakyat terhadap negara.
Bagaimana mungkin sebuah provinsi yang menjadi urat nadi energi Indonesia, tidak memiliki kemampuan membangun karena defisit anggaran? Di situlah Abdul Wahid berjuang di tengah tekanan politik dan realitas fiskal yang menyesakkan dada. Ia tahu pembangunan tidak bisa berhenti hanya karena pusat menahan hak Riau. Maka ia mencari cara, membuka dialog, menggerakkan diplomasi ekonomi, dan menantang absurditas kebijakan yang menafikan logika keadilan.
Langkah-langkah ini tidak hanya perlu dukungan birokrasi, tapi keberanian rakyat untuk berdiri di belakangnya. Karena perjuangan ini bukan soal satu orang, tapi soal harga diri sebuah negeri.
Kepada pemerintah pusat, izinkan kami bertanya: apakah Riau hanya dianggap sebagai lokasi tambang, bukan rumah bagi manusia? Apakah rakyat di sini hanya pantas menjadi penonton dari pesta migas yang setiap malam lampunya terang di langit, tapi listrik di kampung kami masih padam?
Dan kepada mereka yang berkuasa di Jakarta: jangan salah membaca ketegasan Abdul Wahid sebagai perlawanan. Ia bukan sedang memberontak. Ia sedang mengingatkan bahwa republik ini dibangun di atas janji: “dari, oleh, dan untuk rakyat.” Maka jangan pernah menulis ulang janji itu dengan tinta ketimpangan.
Riau bukan anak tiri republik. Kami adalah bagian dari rumah ini. Tapi jika rumah ini terus menutup pintu bagi kami, jangan salahkan kami bila kami mulai bertanya: untuk siapa rumah ini dibangun?
Satu dolar itu adalah cermin. Ia memperlihatkan wajah negara yang selama ini memalingkan pandangan dari daerah penghasil. Tapi ia juga menjadi pemantik kebangkitan. Sebab dari penghinaan, lahir keberanian. Dari kesabaran yang diuji, lahir kepemimpinan yang ditempa.
Abdul Wahid mungkin tidak bisa mengubah sistem dalam semalam. Tapi ia telah menyalakan api kesadaran bahwa Riau berhak atas bagiannya yang adil. Dan jika republik ini masih punya nurani, maka mendengar suara dari Tanah Bertuah ini bukan pilihan, tetapi kewajiban.
Satu dolar bukan sekadar angka. Ia adalah pengakuan, bahwa selama ini keadilan hanya menjadi wacana yang disalurkan lewat mikrofon, tapi tidak pernah sampai ke kas daerah. Dan selama hal ini dibiarkan, sejarah akan mencatat: republik ini gagal membayar utangnya pada Riau.
##wahid #PHR