Oleh: Forum Pemuda dan Mahasiswa Peduli Hukum (F-PEMAPHU)
Di jalan-jalan kita mendengar pekik rakyat yang kian lantang. Kekecewaan terhadap DPR dan aparat negara telah menumpuk, meletup, dan menjelma menjadi gelombang protes yang sulit dibendung. Ada yang menuntut pembubaran DPR, ada pula yang mengutuk aparat atas jatuhnya korban jiwa dalam aksi damai. Semua ini adalah potret nyata betapa kepercayaan rakyat pada negara telah berada di ujung tanduk.
Namun mari kita jujur: pembubaran DPR bukanlah solusi. Konstitusi jelas menegaskan bahwa DPR adalah bagian tetap dari sistem presidensial kita. Membubarkannya sama saja dengan merobohkan tiang penyangga rumah besar bernama Republik. Alih-alih membawa keadilan, langkah itu hanya akan menciptakan kekacauan baru.
Solusi yang lebih waras ada di depan mata: rapikan kursi DPR, bukan robohkan institusinya. Gaji fantastis para wakil rakyat harus diturunkan, karena tidak pantas mereka hidup mewah di atas penderitaan rakyat yang masih berjibaku dengan harga pangan, sempitnya lapangan kerja, dan tekanan pajak. Politik adalah pilihan pribadi, biaya pencalonan adalah resiko pribadi, bukan tiket untuk memanjakan diri di kursi parlemen.
Lebih jauh lagi, siapa pun anggota DPR yang terbukti mengkhianati rakyat, harus dicopot dengan tidak hormat. Tidak ada “imunitas moral” di parlemen. Menggelapkan uang negara harus dibayar dengan pengembalian harta, sanksi hukum, dan pencopotan jabatan. Kalau rakyat saja bisa dihukum tanpa pandang bulu, mengapa wakil rakyat boleh berlindung di balik kekebalan?
Namun di sisi lain, kita juga harus tegas menolak anarkisme. Keadilan tidak lahir dari penjarahan. Keadilan tidak lahir dari pembakaran fasilitas umum. Amarah memang membara, tetapi bila diarahkan pada perusakan, kita hanya melukai rumah kita sendiri. Lihatlah, seorang demonstran meregang nyawa di bawah roda kendaraan Brimob. Itu tragedi kemanusiaan. Itu tamparan keras bagi negara. Tetapi jangan sampai kematian itu dibalas dengan kerusakan yang justru mengaburkan tujuan perjuangan.
Kepada pemerintah, kami hanya ingin berpesan: jangan lagi menjawab suara rakyat dengan gas air mata, peluru karet, dan kekerasan. Suara rakyat adalah alarm, bukan ancaman. Gelombang aspirasi yang mengguncang negeri ini seharusnya dijawab dengan kebijakan yang menyejukkan hati, bukan dengan tangan besi yang memperlebar luka.
Kita semua sedang berdiri di persimpangan. Satu jalan menuju rekonsiliasi, jalan lain menuju kehancuran. Jangan biarkan bangsa ini kembali diracuni dendam. Mari ingat kembali: keadilan tidak lahir dari anarkisme maupun penjarahan. Keadilan hanya akan lahir dari respons bijak negara.***Rls
#F PEMAHU