Riau, Hutan, dan Harapan: Ketika Pemimpin Daerah Melangkah ke Panggung Diplomasi Iklim Dunia

Riau, Hutan, dan Harapan: Ketika Pemimpin Daerah Melangkah ke Panggung Diplomasi Iklim Dunia
H. Abdul Wahid, Gubernur Riau

Riau, Hutan, dan Harapan: Ketika Pemimpin Daerah Melangkah ke Panggung Diplomasi Iklim Dunia

Oleh: Iben Nuriska

Di tengah dunia yang gelisah oleh krisis iklim, kabar undangan kepada Gubernur Riau, H. Abdul Wahid, untuk menghadiri forum internasional REDD+ Investment Opportunities: Supply and Demand Roundtable di London Climate Action Week 2025 barangkali menjadi angin segar bagi pembangunan masa depan hijau yang adil dan berkelanjutan di Riau. Namun, apakah ini hanya sekadar undangan?

Tidak. Undangan ini bukan sebatas formalitas diplomatik, melainkan cerminan bahwa dunia mulai melirik daerah-daerah yang selama ini berada dalam pusaran eksploitasi ekologis sebagai mitra strategis dalam membalik arah sejarah. Riau bukan lagi sekadar halaman belakang industri global. Ia adalah laboratorium masa depan.

Riau adalah daerah yang berada dalam jantung paradoks pembangunan. Ia menyumbang banyak bagi PDB nasional melalui komoditas unggulan seperti minyak bumi, kelapa sawit, dan kayu industri, namun juga menyimpan jejak luka ekologis yang dalam. Mulai dari kebakaran lahan hingga deforestasi masif yang mengubah wajah lanskapnya. Maka, ketika pemimpin daerah seperti Abdul Wahid mendapat ruang bicara di panggung global, itu bukan semata-mata pengakuan, tetapi juga tanggung jawab sejarah yang sedang dipanggulnya.

Setiap langkah menuju meja perundingan iklim global adalah pernyataan posisi politik. Ia menyiratkan bahwa pemimpin lokal tidak lagi cukup hanya mengurus urusan domestik, tapi juga ikut bertanggung jawab atas tantangan peradaban. Maka dari itu, kehadiran Abdul Wahid di London adalah deklarasi bahwa Riau patut menjadi bagian dari solusi, bukan hanya dikenal karena masalah.

Forum REDD+ yang diorganisir UNEP bukan acara seremonial. Ini adalah salah satu titik temu paling strategis antara negara-negara berkembang yang masih memiliki hutan dan negara-negara maju yang ingin mengurangi jejak karbonnya melalui skema pembiayaan restorasi hutan. REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) sejak awal didesain sebagai mekanisme yang adil: negara seperti Indonesia menjaga hutannya, negara maju membayar kompensasi dalam bentuk pendanaan dan teknologi.

Namun di balik semangat itu, terdapat dinamika kuasa, negosiasi yang tak seimbang, dan janji-janji yang tak selalu terpenuhi. Banyak negara berkembang merasa bahwa janji dukungan internasional sering tidak sebanding dengan beban lokal. Maka, penting bagi Indonesia — khususnya wilayah dengan tingkat emisi karbon tinggi akibat deforestasi dan degradasi gambut seperti Riau — untuk hadir secara aktif, vokal, dan cerdas dalam forum seperti ini. Dan inilah yang menjadikan kehadiran Gubernur Abdul Wahid sangat strategis. Ia bukan hanya membawa laporan, tetapi juga membawa suara masyarakat yang selama ini berada di garis depan pertarungan iklim: petani, masyarakat adat, generasi muda desa.

Riau yang Bertobat: Dari Eksploitasi ke Konservasi?

Sejak 1990-an, Riau menjadi simbol ekspansi ekonomi berbasis ekstraksi. Hutan-hutan alam digantikan oleh perkebunan monokultur. Lahan gambut dalam dikeringkan untuk industri. Desa-desa yang dulunya dikelilingi hutan kini dikepung kanal-kanal dan pabrik. Riau pernah menjadi pusat narasi ekonomi Indonesia, tapi juga episentrum krisis ekologis Asia Tenggara.

Namun dalam satu dekade terakhir, mulai tumbuh kesadaran baru — bukan dari pusat, melainkan dari pinggiran: dari masyarakat sipil, LSM lingkungan, hingga sebagian birokrasi lokal, termasuk Abdul Wahid sendiri. Bahwa jalan ini tak bisa dilanjutkan tanpa mengorbankan generasi masa depan. Kesadaran ini penting, karena transformasi tidak lahir dari rasa bersalah, tetapi dari keinsafan dan keberanian untuk berubah.

Kini, peluang untuk membalikkan keadaan terbuka. REDD+ dan transisi ekonomi hijau adalah kesempatan kedua. Tapi kesempatan itu hanya berarti jika ada kemauan politik, inovasi kebijakan, dan kepemimpinan lokal yang berani keluar dari zona nyaman. Abdul Wahid, dengan segala kesadaran, kepedulian dan kapasitas yang dimilikinya, akan pulang dari forum REDD+ membawa arah baru bagi pembangunan di Riau — sebuah arah yang tidak lagi menjadikan pertumbuhan sebagai tujuan tunggal, tetapi menyeimbangkannya dengan keberlanjutan dan keadilan ekologis.

Komitmen Global dan Konstitusi Nasional

Dalam perjalanan sejarah diplomasi iklim global, Paris Agreement adalah tonggak penting. Indonesia mengesahkannya lewat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016, dan berkomitmen menurunkan emisi karbon hingga 29% dengan usaha sendiri, dan hingga 41% dengan bantuan internasional. Tapi lebih dari itu, Paris Agreement menyimpan pesan penting: tidak ada satu negara pun bisa menyelesaikan krisis iklim sendirian.

Dan Indonesia tidak bisa menyelesaikannya tanpa daerah. Pemerintah pusat bukan satu-satunya aktor. Dalam konteks konstitusi, peran pemerintah daerah dalam menghadirkan lingkungan hidup yang sehat telah diamanatkan oleh Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945, yang menyebut bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Artinya, isu perubahan iklim bukan semata urusan internasional, tetapi telah menjadi bagian dari hak dasar rakyat yang harus dijamin oleh negara, termasuk oleh para kepala daerah.

Dengan demikian, kehadiran Gubernur Riau di London bukan hanya sah secara protokoler, tapi wajib secara moral dan konstitusional. Ia adalah bentuk nyata dari amanat Pasal 28H yang dilaksanakan dalam diplomasi hijau.

Diplomasi Iklim sebagai Arena Kepemimpinan Baru

Diplomasi iklim adalah arena politik baru. Ia menuntut pemimpin yang tidak hanya paham anggaran dan proyek, tapi juga bisa bicara di forum dunia, merangkai narasi, dan membangun kredibilitas. Di era ketika opini publik global sangat dipengaruhi oleh isu lingkungan, pemimpin yang aktif dalam diplomasi hijau punya peluang besar membentuk narasi baru kepemimpinan lokal: bukan sekadar administrator, tetapi juga negarawan yang memahami bumi.

Abdul Wahid punya peluang itu. Jika narasi yang ia bangun dalam forum ini bisa mengaitkan identitas Riau sebagai "penyerap karbon", sekaligus menawarkan kerangka kerja konkret (dari insentif masyarakat adat, tata kelola gambut, hingga transparansi penggunaan dana karbon), maka ia bisa menjadi simbol daerah yang mampu berdiplomasi setara di panggung dunia.

Dan publik kita, baik nasional maupun global, haus akan figur-figur seperti itu — pemimpin lokal yang bicara dengan hati, data, dan keberanian. Ia adalah bentuk baru dari patriotisme daerah: membela tanah sendiri dengan cara menjaga dunia.

Menuju Ekonomi Hijau yang Berakar di Desa

Namun diplomasi hanya akan berarti bila berakar pada realitas. Ekonomi hijau tidak boleh berhenti pada jargon. Ia harus menjadi jalan baru yang konkret: yang menciptakan pekerjaan hijau, mendukung koperasi desa, memperkuat pendidikan lingkungan, dan memberi ruang hidup yang layak bagi masyarakat adat.

Investasi karbon, pembayaran berbasis hasil (results-based payments), pemantauan satelit, hingga dukungan donor internasional, harus jatuh tepat di titik-titik paling relevan: desa-desa pinggir hutan, masyarakat adat yang menjaga tanah leluhurnya, dan generasi muda Riau yang ingin mengolah tanah tanpa merusak dan membakar.

REDD+ hanya akan berhasil jika ada keadilan sosial di dalamnya. Jika manfaat ekonomi tidak berhenti di meja elite, tetapi mengalir ke akar rumput. Jika pembangunan tak lagi diukur dari jumlah hektar hutan dan lahan yang dibuka, tapi dari berapa banyak pohon tetap hidup dan berapa banyak petani tetap berdaulat atas tanahnya.

Saatnya Riau Bicara, dan Didengar

Ada saatnya bicara tak cukup. Tapi ada juga saatnya diam adalah kesalahan besar. Dalam dunia yang sedang terbakar — secara harfiah dan metaforis — kita tak bisa lagi menyimpan hutan hanya sebagai cerita masa lalu. Kita harus membawanya ke masa depan. Kita harus membuat hutan kembali punya suara.

Langkah Gubernur Riau untuk hadir di forum iklim dunia adalah langkah awal. Tapi jika dimaknai secara mendalam, itu adalah upaya untuk menegaskan bahwa Riau — dan Indonesia — tidak datang sebagai penonton perubahan iklim, tapi sebagai pelaku penting dalam penyelamatan bumi. Dan itu, adalah langkah yang patut diapresiasi. Bahkan, diperjuangkan bersama.

Penulis adalah penyair dan pengamat kebijakan publik yang menyoroti tema-tema lingkungan dalam karya dan refleksinya.

 

#hutan riau